guuuaaaaa saaaayyyaangg diiiaaa,,,,,,,,
guaaa,,,amadttttt!!!!!!!!!!!!!
benccciii diaaa,,,putraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Kamis, 20 Mei 2010
uuuuuggggghhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!
Diposting oleh hilda RR di 22.14 0 komentar
Rabu, 05 Mei 2010
semangadddtttt!!!!!!!!!!!!!!!!!
besoookkkk gua test neeehhhh**** ooohhhh may god!!!!!!!!!! nervesss*** tappi gua haruuus biiisaaa tenang bersemangadddtttttttt ayyooo hildddaaaaa
Diposting oleh hilda RR di 02.52 0 komentar
Minggu, 02 Mei 2010
akkkuuu inginnn menjadddii seperti yang my mom maoo hahy
semoogaa akku bisa keterimma d kampus yang sudah akku pilih,,,agar orangtua kku bangga terhadap akku,,,akku akan berusaha sebissa mungkin untuk bersaiing dengan yang laen,,,,!! akku pastii biiisssaa
Diposting oleh hilda RR di 19.56 0 komentar
Sabtu, 01 Mei 2010
CURAHANNN HATIIIIIIII***************
akuuuu,,,,so sad beuuudddd!!!!! setelahhh tauuuuu appa yang diaaa bilang kemarinn!!!!!
amadttt sangat mengaget kan yauuu!!!jujur akuu nyesel bisa kenal kammu!!kamu tauuu low akku masihh sayang ma kammu ,,haruuusnya kammu bissa menghargaiii perasaan akku!!!
naaaappppaaaa eaaa...akku lon bissa lupain kamuuu!!! yangg supersuper jahat...kejam,,dan SADIISSSSS!!!
Diposting oleh hilda RR di 21.53 0 komentar
Jumat, 16 April 2010
Aku dan Tulisanku
Adakah orang akan bertanya akan aku ketika aku
tak pernah menulis satu kata?
Adakah orang akan mencari namaku ketika aku
tak pernah meninggalkan kesan?
tulisanku adalah diriku, diriku mustahil adalah tulisanku
jari-jariku bekerja dengan otakku
tapi tidak dengan diriku
diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa
diriku adalah susunan tulang daging darah
yang mungkin telah menyerap barang haram
diriku bukan milikku, lingkunganku telah mengklaimnya
Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati
ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku
harap aku bisa mendapat sapaan hormat yang sama
Tulisanku adalah produksi otakku yang bersahaja
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku yang
diproduksi oleh niatku yang subjektif
tulisanku memberi tahu tentang aku ke dunia
sementara aku tak pernah berbuat yang sama
kepada tulisanku....
Diposting oleh hilda RR di 18.59 0 komentar
Rabu, 14 April 2010
CERPEN!!!!
Menara Sekolah
Nania tak beranjak dari tempatnya berdiri. Di sampingnya sekitar seratus meter dari tempatnya berdiri terdapat pohon beringin tua yang tumbuh menjulang tinggi di halaman sekolah. Nania sekarang baru menyadari bahwa sekolahnya memang angker. Sekolah yang didirikan sebelum Indonesia merdeka ini memang bekas sekolah dan markas militer Belanda. Tak heran kalau suasana Belanda masih melekat pada arsitektur bangunannya.
Nania masih tak beranjak, dipandanginya bangunan tua sekolah dari kanan ke kiri. Menara tua yang terdapat di samping aula sekolah mengingatkannya pada Hogwarst, sekolah sihir Harry Potter. Pintu sekolah sudah dibuka, namun Nania enggan memasukinya. Tiba-tiba ia merasa takut memasuki sekolahnya padahal sudah lebih dari satu tahun ia bersekolah di sana. Perasaan takutnya kali ini melebihi perasaan takutnya pada senior yang suka menbentak-bentaknya pada saat pertama masa orientasi siswa.
Awan kelabu masih menggantung dan angin berhembus menerbangkan daun-daun beringin kering yang berserakan. Nania merapatkan jaketnya dan riba-tiba ia mendengar suara lonceng berdentang. Nania mendongakkan kepala mencari sumber suara, tanpa sadar ia telah memasuki pintu sekolah mengikuti sumber suara. Suara lonceng itu berasal dari menara sekolah. Nania tiba di pintu menara, tapi aneh pintunya dikunci gerendel. Rantai kunci yang berkarat dan daun pintu yang tertutup debu tebal menandakan bahwa menara itu sudah lama tidak dibuka. Lalu siapa yang dapat masuk membunyikan lonceng di menara ? Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahu Nania. Ia kaget dan langsung menjerit.
”Aaaaaaaaaaaaa!”
”Nan, ini aku Raymond.”
Nania membalikan badan, ”Raymond! Kamu tahu nggak, kamu hampir bikin jantungku copot.” ” Sorry Nan, bukan maksudku ngagetin kamu. Aku kan Cuma pengen nyapa kamu. Tumben pagi-pagi begini kamu udah datang ?”
”kamu juga ngapain pagi-pagi begini sudah datang. Mau nakutin orang ?”
” Idih, tiap hari aku kan datang pagi. Nggak seperti kamu datangnya lima menit sebelum bel masuk. ”
” nggak usah nyindir deh ”
” Sorry deh, yuk masuk kelas! Ngapain kamu pagi-pagi sudah ke sini. Kamu nggak tahu ya kalau menara ini wingit? Kamu tahu nggak wingit itu apa? Wingit itu angker, jadi nggak usah lagi dekat-dekat tempat ini. Katanya banyak hantunya, hiii” Raymond lalu menarik tangan Nania dan mengajaknya ke kelas.
Sambil menaiki tangga menuju ke kelasnya, Raymond menceritakan kisah-kisah misteri tentang sekolah tuanya pada Nania.
” Ah yang bener kamu Ray? Kamu jangan bohong sama aku. Jangan-jangan kamu cuma nakut-nakutin aku doang.”
” Eh dibilangin nggak percaya. Kamu tahu nggak kenapa toilet cewek dekat tangga depan renovasinya makan waktu lama? Itu karena pekerjanya pada sakit gara-gara di ganggu penunggu yang tinggal di situ.”
” Raymond udah deh jangan nakut-nakutin aku. Nanti aku nggak berani lagi ke toilet sendirian .”
” malah bagus dong, kan aku bisa nemenin.”
” Dasar otak ngeres!” Nania memukulkan tas sekolahnya pada Raymond. Raymond berlari menuju kelas dan Nania mengejarnya.
Langit masih mendung ketika pelajaran akhirnya dimulai. Nania tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk memandangi menara sekolah dari jendela. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa yang membunyikan lonceng yang tergantung di puncak menara tua itu dan satu lagi pertanyaan yang mengganjal hatinya kenapa hanya bangunan menara yang belum di renovasi di sekolahnya.
Saat istirahat tiba Nania menceritakan peristiwa pagi tadi pada teman-teman satu gengnya.” mungkin saja ada orang iseng masuk menara terus ngebunyiin lonceng.” Kata Riana.
” Hantu sekolah kali.” Ina menimpali.
” Bukan,bukan itu, semuanya salah.” Agvi menyahut.
”Terus apa?” Tanya Riana dan Ina serempak.
” mungkin kamu salah dengar kali Nan.” jawab Agvi santai.
” Agvi, please deh! Kita lagi serius” Balas Ina.
” Kalau menurutku pendapat Riana kemungkinan ada benarnya. Mungkin saja ada orang iseng dan lagi nggak punya kerjaan membunyikan lonceng tua di menara.” tambahnya lagi.
” Nggak mungkin deh ada orang masuk ke menara tadi pagi. Pintunya aja masih di kunci gerendel waktu aku sampai kesana ” Nania menimpali.
” Nan menurutku cukup kita berlima saja yang tahu soal ini. Aku takut kalau hal ini menyebar akan menyebabkan anak-anak lain ketakutan. Lagi pula seperti katamu tadi nggak mungkin ada orang yang masuk ke menara tadi pagi. Kan sudah lama menara menjadi tempat terlarang. Anggap saja pagi tadi kamu mimpi dari pada kamu ketakutan sendiri mikirin hal-hal yang belum pasti,” Amanda yang sedari tadi diam saja kali ini membuka suara.
”soal cerita Raymond, kamu nggak usah mikirin. Kan dia nggak punya bukti. Lagi pula dia sukanya bikin sensasi doang,” Tambah Amanda.
” Aku mikirnya juga begitu. Nggak usah di bahas lagi deh. Yuk kita ke kantin! Aku traktir deh,” Nania menyudahi percakapan yang seru itu.
Hari ke dua Nania di antar Kakaknya, jam enam kurang lima belas menit Nania sudah sampai sekolah. Di dengarnya kembali lonceng berdentang di menara. Bulu kuduknya meremang dan keringat dingin mulai keluar. Langit masih sedikit gelap dan angin berhembus semilir membuat suasana semakin mencekam. Nania mengumpulkan seluruh keberaniannya dan akhirnya sampailah Nania di pintu menara. Aneh, pintunya tak di kunci dan masuklah Nania ke dalam menara.
Pintu menara berdebam karena tertiup angin ketika Nania memasuki menara. Nania sedikit kaget. Di dalam menara gelap dan berdebu. Pengap sekali sampai-sampai Nania berkeringat. Sarang laba-laba menggantung dimana-mana membuat menara seolah-olah seperti sarang drakula. Nania meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu.mungkin saja lampu kuno di menara masih bisa berfungsi. Di tengah kegelapan, Nania tiba-tiba terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. Cepat-cepat Nania bangkit untuk membetulkan tali sepatunya dan kembali mencari saklar lampu. Nania meraba-raba dinding di sekitarnya dan tanpa sengaja ia tersandung sesuatu. Nania kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhuyung lalu menghantam dinding di depannya. Ajaib, lampu kuno itu menyala. Nania terheran-heran lalu di lihatnya dinding yang di hantamnya ternyata di situ saklar lampunya. Nania menghembuskan napas lega.
Nania memandang berkeliling lantai dasar menara. Ada banyak tumpukan koran dengan ejaan lama dan beberapa kursi dan meja yang sudah tak beraturan susunannya. Semuanya di lapisi debu. Nania membersihkan sarang laba-laba yang menepel di baju dan rambutnya. Angin dingin melewati tengkuk Nania membuat bulu kuduknya kembali meremang dan detak jantung bertambah cepat. Spontan Nania segera berlari menuju pintu menara.
” Sial pintunya pake macet lagi,” Nania mengumpat sambil berusaha membuka pintu menara.
” Yang di luar menara tolong dong! Ada orang di dalam sini. Tolong keluarin aku!” Nania menggedor-gedor pintu menara sekuat tenaga. Tak ada yang menjawab teriakan Nania.
Nania terus menggedor-gedor pintu menara dan memutar gagang pintunya, namun tak ada hasilnya. Nania berhenti sejenak karena kecapekan. Baju seragamnya basah oleh keringat. Tiba-tiba lampu mati dan suasana menjadi gelap. Nania mendengar suara benda jatuh dari lantai di atasnya dan terus menggelinding ke bawah. Sontak saja Nania kaget dan menjadi histeris lalu kembali menggedor-gedor pintu menara. Berhasil, kali ini pintu terbuka, Nania segera keluar. Di luar menara sudah berdiri kokoh tangga menuju ke kelasnya. Nania segera duduk di tangga untuk menenangkan dirinya, tak sengaja matanya menatap pintu menara. Aneh pintu itu tertutup rapat dan di kunci gerendel persis seperti terlihat setiap hari.
Nania menjadi semakin histeris dan lalu berlari menuju gerbang sekolah. Di koridor tanpa sengaja Nania menabrak Raymond. Raymond kebingungan melihat tingkah Nania.
” Nan kamu kenapa? Pagi-pagi udah lari-lari, mau ikut kompetisi?”
”Ray” Nania mengatur napasnya.
” itu Ray,” Nania masih berusaha mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.
” itu kenapa? ”
” Di menara Ray,” Nania masih terengah-engah.
” kenapa dengan menara?”
” Di menara Ray! Di menara!” bukannya semakin tenang Nania malah menjadi semakin histeris.
” iya kenapa memangnya?”
” Di menara…….di menara”
Gubrak! Nania jatuh tak sadarkan diri sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya.
” Nan, sadar ”
” Eh ada yang pingsan nih. Tolongin dong! ”Raymond meminta pertolongan.
Nania di bawa ke UKS. Walaupun sudah sadar Nania masih shock. Dia belum mau menceritakan apa yang menimpanya. Dan ketika ditanya lagi mengenai apa yang terjadi denganya, Nania mendadak tak sadarkan diri lagi. Kondisi Nania ini membuat petugas UKS menyuruh Raymond mengantarkan Nania pulang. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Nania diam saja. Raymond yang memegang setir mobil juga diam saja. Dia takut kalau-kalau Nania pingsan lagi jika di tanya tentang apa yang menimpanya. Tapi tiba-tiba Nania membuka suara.
” Ray ”
” Ya. Kenapa Nan? ”
” kamu betul Ray ”
” Soal apa? ”
” Menara ”
Raymond mendadak menghentikan mobilnya dan menepi.
” Kamu jangan bilang siapa-siapa Ray. Aku kalau ada yang denger nanti aku di sangka mau bikin sensasi doang.”
” Pasti. Ini rahasia kita berdua.”
Sudah seminggu Nania tidak masuk sekolah. Rasa takut membuat badannya ikut sakit karena terus memikirkan kejadian itu. Hari ini mungkin hari sial Nania karena harus berangkat pagi-pagi ke sekolahnya karena kakak yang biasa mengantarnya harus berangkat pagi-pagi juga ke kampus untuk mengurus acara di kampusnya hari ini. Nania berharap tak akan mendengar bunyi lonceng lagi hari ini. Sekolah masih sepi ketika ia datang. Di masukinya pintu sekolah dengan hati gundah. Tiba-tiba ia melihat sosok seorang murid laki-laki di lobi sekolah. Tak salah itu Daniel, siswa paling keren di sekolah Nania.
” Daniel? ”
” ya. Ada apa?” Daniel menoleh.
” Tumben pagi-pagi kamu sudah datang.”
” lagi pingin aja.” Daniel lalu berjalan ke koridor.
” Daniel kamu mau kemana?”
Daniel menghentikan langkahnya. ” kamu mau ikut ?”
” ke mana?” tanya Nania.
” ke menara ” Daniel tersenyum.
Hati Nania berdesir. Menara? Nggak salah? Tempat itukan berhantu.
” kenapa Nan? Tenang aja selama seminggu kamu nggak masuk, menara sudah di rapiin kok. Sekarang bisa difungsiin kembali.” Daniel kembali berjalan. Nania mengikutinya dari belakang.
Benar kata Daniel, menara telah menjelma menjadi tempat yang baru. Tak ada lagi debu yang menempel di daun pintunya. Kunci gerendelnya pun sudah tidak menggantung di situ.
” Masuk Nan.” Daniel mempersilakan Nania masuk. Nania mengikuti Daniel masuk ke dalam menara.
” Aneh kok bisa rapi gini.” Nania bingung.
” Dalam seminggu semuanya bisa terjadi.” Daniel tersenyum lalu menaiki tangga menuju puncak menara.
Nania mengikutinya. Hatinya berdesir ketika menaiki tangga besi tua itu. Sampai di puncak menara, Nania melihat Daniel membunyikan lonceng.
Kok di bunyiin Dan?”
” Aku lagi kangen aja sama sekolah zaman dulu. zaman ketika sekolah ini dalam masa jayanya” jawab Daniel.
” Kamu tiap hari ke sini?” Tanya Nania.
” Kenapa memangnya?” Daniel balik bertanya.
” Ah nggak apa-apa. Menurutku aneh aja kamu suka di sini. Biasanya kamu kan ada di perpustakaan atau di kerubuti cewek-cewek cheerleaders.” jawab Nania.
” Kadang kita perlu kembali ke masa lalu.” balas Daniel dingin. Nania bingung dengan jawaban Daniel. Belum sempat Nania menanyakan maksud kata-kata Daniel, bel listrik berbunyi tanda pelajaran akan di mulai.
” Dan, udah bel nih. Kamu nggak masuk kelas?”
” Kamu masuk aja duluan.”
”kok?”
” Sudah kubilang kadang kita perlu kembali ke masa lalu.”
” Kalau begitu aku ke kelas dulu ya?” Nania meninggalkan Daniel sendirian di menara. Angin dingin berhembus melalui tengkuk Nania ketia meninggalkan menara, membuatnya merinding.
Hari berikutnya Nania diantar ayahnya. Kakaknya semalam tidak pulang karena sibuk mengurus acara kampusnya. Tapi, pagi ini ayah ada rapat di kantor jadi mau tidak mau Nania harus ikut berangkat pagi-pagi lagi. Nasib!
Pagi ini, langit kembali mendung dan Nania sudah sampai di sekolah. Sepi, itulah yang di rasakan Nania menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Di langkahkan kakinya memasuki pintu sekolah. Sepi, belum ada orang. Teringat pertemuannya kemarin dengan Daniel, Nania memutuskan untuk pergi ke menara, siapa tahu Daniel sudah ada di sana. Lumayan pagi-pagi begini bisa ngobrol dengan orang secakep Daniel pikirnya. Nania melewati koridor menuju menara sekolah yang terletak di samping aula sekolah. Nania kaget setengah mati ketika tiba di depan pintu menara. Pintu itu terkunci rapat. Daun pintunya tebal di lapisi debu dan rantai kuncinya karatan. Bulu kuduk Nania tiba-tiba meremang dan sebuah tangan mendarat di bahunya. Nania kaget dan menjerit histeris.
” Nan, ini Raymond. Kamu kenapa lagi?”
” Raymond, tahu nggak, kamu udah bikin aku ketakutan.”
” Sorry, bukan maksudku begitu. Kamu ngapain di sini ?”
” Mau ketemu Daniel. Memang kenapa?”
” Nggak salah Nan? Daniel kan sekarang masih ada di Singapura. Dia lagi ikut training buat olimpiade Fisika nanti. Memangnya waktu kamu nggak masuk sekolah nggak ada yang ngasih tahu kamu?”
” Jadi kemarin yang ngajak aku naik ke menara siapa dong?”
” Hantu Nan!” jawab Raymond sambil menarik tangan Nania meninggalkan tempat itu.
” Sudah ku bilang kamu jangan dekat-dekat menara lagi, menara itu angker. Kata tetanggaku yang mantan penjaga sekolah ini katanya menara itu sudah sekitar lima puluh tahunan pintunya nggak dibuka” Raymond menjelaskan. Tanpa sengaja Raymond menabrak Pak Udin, petugas perpustakaan sekolahnya ketika melintasi perpustakaan.
” Maaf pak, saya nggak sengaja. Saya bantuin beresin barang bawaannya.” Raymond membantu Pak Udin membereskan buku-buku tua dan koran-koran tua yang jatuh dari tangan Pak Udin.
Nggak apa-apa mas, lain kali kalau jalan lihat-lihat. kok pagi-pagi jalannya sudah tergesa-gesa begitu kayak dikejar orang saja” kata Pak Udin tanpa merasa marah.
” kita bukan dikejar orang Pak, tapi di kejar…..” belum sempat Nania menyelesaikan kalimatnya. Raymond menginjak kakinya dan menyambung kalimatnya.
” Kami dikejar deadline majalah sekolah Pak” sambung Raymond cepat.
” Oh, ya sudah kalau begitu Bapak mau nyimpen buku-buku ini dulu. Kalian kerjakan saja tugasnya.” Pak Udin meninggalkan mereka berdua.
” Huh hampir saja” Raymond menghela napas.
” Yuk kita ke kelas saja ” ajak Raymond.
” Tunggu Ray! Bawaan pak udin ada yang ketinggalan.” Nania memungut kertas tua seukuran surat kabar di bawahnya.
” Apaan Nan?” tanya Raymond.
” Aku nggak tahu. Kayaknya koran jaman dulu deh. Tapi, aku nggak tahu isinya apa soalnya di tulis dalam bahasa belanda. Kamukan jago bahasa Belanda, terjemahin dong.” pinta Nania.
” Coba lihat? ” Raymond lalu membaca tulisan dalam kertas tersebut. Setelah membaca tulisan itu wajah Raymond menjadi pucat.
” Kenapa Ray? ” tanya Nania.
” Ini koran yang terbit lima puluh empat tahun yang lalu. Katanya dulu ada murid yang mati terbunuh di menara sekolah kita. Mayatnya jatuh menggelinding dari puncak menara sampai ke dasar menara. Mengerikan sekali ” jawab Raymond.
” Di sini juga ditulis kalau murid itu terbunuh tepat saat ia selesai membunyikan lonceng menara.” sambungnya lagi.
” jadi?”
Entah kenapa sebulan kemudian Kepala Sekolah Nania mendadak merenovasi menara menjadi semacam ruang latihan bagi siswa-siswa yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Semua menyaksikan penurunan lonceng tua besar di puncak menara. Lonceng itu dibersihkan lalu dibawa ke museum kota mengingat nilai sejarah yang di kandungnya. Sekarang menara telah selesai direnovasi. Pengalaman misteri Nania di menara sudah dilupakannya dan hanya saja Raymond yang tahu.
Setelah peristiwa yang mengerikan yang terjadi pada Nania, Raymond sekarang selalu berangkat sekolah bersama Nania, jadi ayah dan kakak tak perlu mengantar lagi. Pagi ini langit sedikit mendung dan mereka telah tiba di sekolah. Nania dan Raymond memasuki halaman sekolah dari pintu gerbang samping yang tidak terkunci.
” Eh jatuh, jatuh ” Nania tak sengaja menjatuhkan buku yang dipegangnya.
” kamu latah ya Nan? Tanya Raymond.
” please Ray, kamu jangan bilang sama orang lain. Kalau yang lain tahu pasti aku bakal dikerjain.” Nania memohon.
OK, tapi ada syaratnya.”
” apa Ray?”
” jatuhin bukunya!”
” Eh jatuhin bukunya, bukunya jatuh, jatuh eh lepas.” Nania refleks melemparkan buku yang dipegangnya sementara Raymond tertawa terbahak-bahak.
” Raymond awas kamu!” Nania memungut bukunya dan memukulkannya pada Raymond.
” Aduh sakit Nan.”
” Ampun Nan”
Di tengah asyiknya mereka bercanda. Tiba-tiba mereka mendengar lonceng berdentang dari puncak menara. Mereka terdiam berpandangan. Langit mendung, angin berhembus menggugurkan daun-daun pohon beringin tua yang sudah layu. Lonceng masih berdentang. Raymond dan Nania ikut menyaksikan penurunan lonceng itu hanya bisa berdiri memandangi puncak menara di bawah rimbunnya beringin tua. Bulu kuduk Nania dan Raymond meremang, keringat dingin menetes keluar. Lonceng masih berdentang dan mereka baru ingat kalau hari ini sekolah libur karena berkabung atas kematian seorang murid yang mati terbunuh di sekolah lima puluh empat tahun yang lalu
Diposting oleh hilda RR di 22.24 0 komentar
untuk bunda
Untuk Bunda
Maaf Ibu,
Kadang kuluput memikirkanmu
Karena seringnya memikirkan diriku
Kadang aku tidak membantumu
Karena sering bergelut dengan kesibukkanku
Kadang aku pergi meninggalkan rumah dan ibu
Karena seringnya pergi dengan teman-temanku
Kadang aku jarang bicara denganmu
Karena seringnya berhadapan dengan Laptop dan Televisi dikamarku
Tapi kini, kusangat sadar Ibu
Di hati dan Otakku hanya Ibu
Betapa ku butuh bantuan Ibu
Betapa aku selalu ingin menemani Ibu kemanapun itu
Betapa aku pun ingin selalu curhat dengan Ibu mengenai masalahku
Betapa aku butuh perhatian dan sayang Ibu di saat sakitku
Betapa aku pun butuh pundak Ibu, di saat tangisku
Ibu…
Ibu sungguh Inspirasiku
Ibu sungguh cinta dan sayangku
Ibu sungguh tautanku
Ibu benar segala2nya untukku
Maafkan aku Ibu
Aku manusia yang tak sempurna, yang selalu punya dosa dan membuatmu terbeban olehku
Hingga kadang Ibu menangis dan Jarang tersenyum karna ulahku
Tapi….
Aku yakin akan satu Hal
Do’a Ibu, bisa merubah dan menjadikan aku sebagai orang yang berhasil dan berguna untuk ibu atau siapa pun itu
Dan yang terpenting
Aku selalu sayang Ibu
SELALU…..
Diposting oleh hilda RR di 22.06 0 komentar
selembar uang 5000
Selembar Uang 5000
Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.
Popularity: 90% [?]
Ramuan Ajaib
Cerpen Anak : Retno Wi
Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.
Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.
“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.
“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.
Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.
Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.
“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”
“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib
Diposting oleh hilda RR di 21.37 0 komentar
Senin, 15 Februari 2010
nak xII ips 1
seruuuuu beud,,,
nempatin laz ipzzz.....1
nagk_nagk eea seeruuuu!!!!
gokillll,,,,ajippppp!!!!
pinter_pinter,,,hahaha!!!!!
Diposting oleh hilda RR di 18.32 0 komentar